Sejarahnya pada zaman dahulu, nilai
seekor perkutut ditentukan oleh 2 hal, yaitu kemerduan suara dan nilai
katuranggannya (bentuk lahiriah, bagian badan yang nampak di luar). Tapi
pada zaman sekarang, nilai itu hanya berdasarkan keindahan suaranya
saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Ketua Umum P3SI (Persatuan Penggemar
Perkutut Seluruh Indonesia).
Berbicara mengenai keindahan suara,
katanya setiap individu mempunyai selera sendiri-sendiri. Sebab, kesan
yang diterima indera pendengaran bagi setiap orang berbeda-beda.
Namun dalam kehidupan sehari-hari dikenal juga adanya selera umum.
“Nah, keindahan suara perkutut menurut selera umum ini seperti apakah ?”
Berdasarkan Buku Kawruh Peksi Berkutut
ditulis tangan dengan huruf Jawa oleh R.W Padmodiprodjo pada zaman
Belanda, dr. Soemoro membagi suara burung perkutut menjadi 3 bagian. Yaitu suara depan (pengajeng/angkatan), suara tengah (penengah/pukulan), dan suara ujung (dawah/pembuang). Ketiga bagian suara ini kalau dieja secara sederhana berbunyi : “Hur- kete – kuk”.
Dari ketiga bagian suara ini, suara
tengah (“kete”) boleh tidak ada atau tidak terdengar. Tapi suara depan
dan suara ujung belakang mutlak harus ada. Karena tak ada burung
perkutut yang berbunyi :” Hur – kete” atau “Kete – kuk” saja. Sedang
perkutut yang berbunyi :”Hur – kuk” banyak ditemukan, misalnya perkutut
bangkok.
Jumlah suku kata pada suara perkutut disebut tanduk atau wirama. Suara yang hanya terdengar “hur – kuk” saja disebut suara tanduk 2 atau wirama 2, yang terdengar “Hur – te – kuk” disebut tanduk 3 atau wirama 3, sedang yang terdengar “Hur – kete – kuk” disebut tanduk 4 atau wirama 4. Kalau jumlah suku katanya lebih dari 4, istilahnya adalah nutuk. Burung perkutut yang bunyinya “Hur – ketete – kuk” disebut bersuarau nutuk 5, ketek rangkep. Kalau bunyinya “Hur – kete – kuk kuk” istilahnya adalah nutuk 5, susun.
Mengenai keindahan suara, bunyi anggunan burung perkutut
baru dianggap merdu kalau suara depan bersih, tidak berakhir dengan
huruf R, seperti misalnya “Hur”, dan tidak berakhir dengan huruf K
seperti “Ok” atau “Wek” tapi berakhir dengan bunyi O. Misalnya “Wao”
atau “Klao” yang terdiri dari 2 suku kata yang nadanya tergabung secara
kontinyu. Iramanya harus luwes, panjang dan membat (memantul).
Suara tengah harus terdiri dari 2 suku kata atau lebih, tidak boleh
kosong atau hanya terdengar sebagai satu suku kata saja. Bunyi tiap suku
kata harus terdengar jelas, dan nada masing-masing harus sama. Suara
ujung belakang tidak boleh pendek dan berakhir dengan huruf K (misalnya
“Kuk”, “Pek” atau “Bek”), melainkan “Koooooongngng” yang panjang dan
berhentinya pelan-pelan.
Selain itu tempo yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu “Hur – kete – kuk” juga harus kalem, runtut irama lagunya, ritmis dan serasi pause (selang waktu istirahatnya) antara bunyi “hurketekuk dengan hurketekuk lainnya”.
Khusus bagi suara ujung, dikenal beberapa istilah kualitas suara. Antara lain kuk
bares, kuk arum, keteko bares, tirto koo arum, ukung, kung langu, koong
kotor, koong kasar, koong cowong, koong angin, koong bersih, dan koong semblih. Tapi
Ketua Umum P3SI itu mengaku belum memahami arti istilah-istilah itu.
Dan katanya belum ada yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan
istilah-istilah itu.
Silahkan bagi yang ingin mendownload Suara Burung Perkutut mp3, bisa melalui link dibawah ini. Anda bisa mendownload atau mendengarkannya dahulu jika anda menggunakan pc atau laptop.
Dikutut dari berbagai sumber, jika deskripsi di atas ada kesalahan kami mohon maaf, semoga bermanfaat dan salam kicau mania.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar